MEMBUAT KLIPING BERITA PAJAK

Limit Kartu Kredit Rp100 Juta/Bulan, Potensi DJP Kejar Pajak
Sumber : ekbis.sindonews.com
Kamis,  31 Maret 2016  −  13:35 WIB
JAKARTA - PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengungkapkan, transaksi limit kartu kredit memang ada yang di atas Rp100 juta/bulan, sehingga menjadi potensi bagi pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dalam mengejar potensi perpajakan.

Corporate Secretary BRI Hari Siaga menjelaskan, pemerintah melihat ada potensi untuk meningkatkan potensi penerimaan pajak dari nasabah pemegang kartu kredit.

"Ya justru itu, makanya pemerintah lihatnya ada potensi di situ yang mau dilihat. Limit kartu kredit sesuai dengan kelasnya, ada gold, platinum, itu berbeda-beda. Kita analisa kemampuan seseorang, Rp100 juta/bulan ada, di atas Rp100 juta/bulan juga ada," ujarnya saat dihubungi Sindonews di Jakarta, Kamis (31/3/2016).

Hari menjelaskan, besaran nilai limit transaksi kartu kredit yang diberikan kepada nasabah tidak dibatasi karena disesuaikan lagi dengan kemampuan finansialnya.

"Besarannya tidak dibatasi melihat kemampuan siapa yang kita layani. Kalau sekarang kebutuhan masyarakat meningkat, di satu sisi manusia zamannya IT minded, transaksinya enggak megang cash pegang kartu, perlu limit," kata dia.

Menurutnya, nilai transaksi yang besar tersebut terjadi karena potensi bisnis di Indonesia semakin berkembang dan nasabah sudah tidak lagi bertransaksi menggunakan uang tunai.

"Di Indonesia potensi bisnis semakin berkembang, tak hanya potensi transaksi tapi jumlah limit. Kalau orang sudah jarang transaksi dengan cash, pakai kartu kredit, produk berkartu atau media online," pungkasnya.






CORE: Realisasi Penerimaan Pajak Jauh dari Harapan
Sumber : ekbis.sindonews.com
Selasa,  29 Maret 2016  −  16:38 WIB
JAKARTA - Center of Reform on Economics (CORE) memandang realisasi penerimaan pajak negara pada kuartal I/2016 jauh dari harapan karena hingga Februari 2016 baru 9%. Idealnya kuartal I menjadi kesempatan tancap gas penerimaan pajak.

"Kemungkinan besar angkanya jauh dari yang diharapkan. Realisasi pajak cenderung tinggi bulan awal, Februari baru dapat 9%, kurang Rp217,6 triliun sampai Maret," ujar ekonom CORE Akhmad Akbar Susamto di Jakarta, Selasa (29/3/2016).

Dia menjelaskan, tahun lalu realisasi penerimaan pajak pada awal tahun tercatat lebih tinggi sebesar 37,3%, sama halnya pada 2014 yang berada di angka 43,7%

"Tahun 2015 Januari sampai Maret 37,3%, tiga bulan kedua tambah 4%, pada kuartal III 12%, kuartal IV 30%; Pada 2014 lebih tinggi, dari Januari sampai Maret 43,7%; pada 2013 Januari sampai Maret 41,5%, sekarang justru baru 9%," katanya.

Menurut Akhmad, idealnya realisasi pajak pada kuartal I tiap tahunnya sebesar 30%-40% sehingga dapat mencapai target realisasi hingga akhir tahun.

"Jadi situasi sekarang kita sulit, realisasi pajak kita rendah harusnya I bisa 30%-40%. Realisasi pajak menurun, dari 99,44% pada 2011, pada 2008 justru 108% lebih kemudian 2011 sampai 2015 kita turun, sekarang kalau enggak hati-hati bisa turun lagi, entah targetnya ketinggian atau gimana," pungkasnya.









Di Depan Jokowi, Menkeu Akui Ketimpangan Pajak RI
Sumber : ekbis.sindonews.com
Selasa,  29 Maret 2016  −  11:19 WIB

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengakui, struktur pajak di Indonesia masih mengalami ketimpangan lantaran Indonesia masih terlalu bergantung pada pajak badan atau perusahaan. Pernyataanya tersebut diungkapkan di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hadir untuk memberikan pengarahan di Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) III Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Tahun 2016

"‎Harus diakui saat ini struktur pajak kita masih timpang karena bergantung pada pajak badan atau perusahaan. Sementara kita tahu kondisi perusahaan tergantung ekonomi. Ekonomi naik turun maka penerimaan perusahaan juga naik turun," jelasnya di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (29/3/2016).

Dia menambahkan selama ini struktur perpajakan yang modern, masih terus diperhatikan. Namun tidak baik juga jika bergantung lebih pada pajak badan atau perusahaan, pasalnya, perusahaan kondisinya juga bergantung pada ekonomi. Pihaknya juga memahami bahwa tingkat kepatuhan atau kesadaran wajib pajak di Indonesia masih sangat rendah.

Karena itu, lanjut dia pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan wajib pajak orang pribadi (WPOP). "Kami bertugas untuk memberikan pengarahan kepada para individu untuk  membayar pajak dengan benar. Sehingga suatu saat kita punya struktur pajak yang lebih baik dimana WPOP lebih dominan dan lebih stabil karena tidak terpengaruh langsung oleh kondisi ekonomi," kata dia.

Menurutnya diharapkan penerimaan dari WPOP tahun ini bisa meningkat daripada tahun lalu Rp9 triliun. Dia juga menekankan pihaknya akan bekerja keras agar WPOP tahun ini bisa naik drastis lagi. "Tahun lalu WPOP kita hanya Rp9 triliun. Naik lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya Rp4 triliun. Saya harap kenaikan yang sama bisa terjadi di tahun ini," pungkasnya.



Mahasiswa Lulus Kuliah Akan Langsung Dapat NPWP
Senin,  28 Maret 2016  −  19:32 WIB
JAKARTA - Dalam menjaring wajib pajak (WP) ke depan setiap mahasiswa yang baru lulus akan langsung mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal ini diwujudkan melalui penandatanganan nota kesepahaman peningkatan kerja sama perpajakan antara Kementerian Keuangan dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Sebagai bagian dari pelaksanaan kerja sama tersebut, Direktorat Jenderal Pajak dengan Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan melakukan penandatanganan peningkatan kesadaran pajak melalui pembelajaran dan kemahasiswaan di tingkat pendidikan tinggi.

"Jumlah lulusan satu perguruan tinggi hitung berapa jumlah yang jadi wajib pajak aktif dan pasif. Mereka lulus langsung dapat NPWP," ujar Menristek M Natsir di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (28/3/2016).

Di tempat yang sama, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pada dasarnya yang menjadi sasaran adalah pemahaman pajak di kalangan mahasiswa. Menurutnya, mereka merupakan pihak yang sebentar lagi akan masuk ke lapangan kerja, bahkan sudah ada yang memiliki usaha atau bekerja di sela waktu kuliah.

"Karena mahasiswa adalah pihak sebentar lagi masuk lapangan kerja. Malah ada yang tahun kedua atau ketiga terlibat pekerjaan atau bisnis kecil-kecilan yang wajibkan dia jadi wajib pajak," katanya.

Namun, Bambang belum bisa merincikan secara pasti waktu penerapan pemberian NPWP langsung kepada para mahasiswa yang baru lulus tersebut. "Itu secepatnya," tandasnya.






Pemerintah Perbaiki Sistem IT Cegah Kasus Penggelapan Pajak
Senin,  21 Maret 2016  −  22:10 WIB
JAKARTA - Pemerintah akan memperbaiki sistem informasi dan teknologi (IT) khususnya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk mencegah kasus penggelapan pajak dan pencucian uang (money laundring). Hal tersebut menjadi keputusan dalam rapat kabinet terbatas (ratas) yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK).

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, Presiden Jokowi menginstruksikan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro dan seluruh jajaran Ditjen Pajak untuk memperbaiki IT agar dapat terintegrasi. Dengan demikian, tak akan ada lagi data perpajakan yang bersifat manual dan berbeda-beda.

"Karena dalam sistem IT yang terintegrasi ini, kami meyakini pasti akan meningkatkan tax ratio. Karena tax ratio kita masih sekitar 11%, dan bapak Presiden menginginkan dalam waktu ke depan tax ratio bisa ditingkatkan di atas 12-13% bahkan sampai 15%," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/3/2016).

Dalam rapat tersebut, sambung Politisi PDI-Perjuangan ini, Presiden Jokowi juga meminta kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk menggunakan data bersama yang menjadi tolak ukur untuk melihat objek pajak.

"Karena data bersama ini yang akan ditindaklanjuti sebagai tolak ukur untuk melihat objek pajak. Karena tadi dengan berbagai contoh diberikan, data awal tentunya paling utama selain dari Ditjen Pajak juga dari PPATK," imbuh dia.

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui bahwa dengan semakin terbukanya sistem perpajakan di dunia maka pemerintah perlu memperbaiki sistem IT yang ada di Ditjen Pajak serta melakukan koordinasi mengenai data perpajakan yang ada. "IT yang akan kita kembangkan khususnya di Ditjen Pajak dan Bea Cukai adalah integrated IT system," imbuh dia.



Tax Amnesty Dijegal, Menkeu Ancam Tindak Tegas Pengemplang Pajak
Senin,  21 Maret 2016  −  21:20 WIB

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan tindakan penegakan hukum secara tegas bagi warga negara Indonesia (WNI) yang tidak melakukan kewajiban membayar pajak dan melaporkan asetnya di dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak. Hal ini menyusul masih belum adanya kejelasan mengenai rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak (tax amnesty).

Dia mengatakan, jika parlemen tetap bersikeras menjegal dan tidak kunjung memberikan kepastian terhadap pemberlakukan tax amnesty saat ini, maka mau tidak mau pemerintah akan menghukum para pengemplang pajak tersebut sesuai peraturan yang berlaku.

"Kita bisa tindak kapan saja sih (para pengemplang pajak). Ya kita lihat bagaimana tax amnesty. Kalo tidak ada tax amnesty, ya kita melakukan tindakan. Gitu aja," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/3/2016).

Mantan Wakil Menteri Keuangan ini juga tetap keukeuh baru akan mengajukan draf Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016, pasca rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak (tax amnesty) memperoleh kejelasan dari DPR.

Saat ini, terdapat dua kubu dalam parlemen terkait tax amnesty tersebut yaitu kubu yang mendukung dan yang menolak tax amnesty diimplementasikan. "Semangat banget sama APBNP. Ya (pengajuan APBNP 2016) tunggu nanti kejelasannya. Tunggu kejelasan tax amnesty," tandasnya.


Comments

Popular Posts